Membumikan Narasi Empati Sebagai Napasnya Proses Belajar
Di sela kesibukan, aku menyempatkan nonton film legal secara gratis lewat YouTube. Pilihan jatuh ke film tahun 2007 yang judulnya "Freedom Writers", diperankan sama Hillary Swank.
Awalnya tertarik karena ceritanya diangkat dari kisah nyata tentang guru yang mengajar kelas penuh anak-anak SMP bermasalah di daerah Long Beach, Southern California, AS di akhir tahun 90an. Sebagai guru, aku selalu tertarik buat tahu lebih banyak tentang gimana guru-guru lain mengatasi masalah di dalam kelas. Dan bener aja dong, aku belajar banyak metode menarik yang ditempuh Ms Gruwell buat mengambil hati anak muridnya, yaitu dengan menumbuhkan empati.
Sebagai anak-anak remaja tanggung umur 14-15 tahun, murid-murid kelas 302 punya emosi labil. Hal ini diperparah sama keadaan sosial di California pada saat itu, yang lagi tegang karena isu rasial dan kelompok gangster. Sebagian besar murid Ms Gruwell tumbuh di lingkungan imigran, diwarnai kekerasan dalam rumah tangga, pembunuhan, penyalahgunaan senjata dan narkotika. Kebayang lah murid-muridnya ini kaya gimana; boro boro sekolah, mereka sedang berjuang di perangnya masing-masing.
Tapi Ms Gruwell, perempuan muda yang cerdas dan optimis, guru baru di sekolah, ga menyerah buat ngajar anak-anak ini.
Yang aku salut adalah gimana Ms G ini memasukkan nilai empati lewat narasi. Ms G ngasih metode belajar yang mengeksplorasi pengalaman masing-masing anak di kelas lewat berbagai metode pengajaran.
- dimulai dari pertanyaan-pertanyaan ringan, dari "Yang punya album terbaru Snoop Dogg, maju ke garis.", atau "Yang pernah ikut-ikutan dalam gangster, maju ke garis."
- sampai pertanyaan seperti "Yang punya keluarga atau teman yang berada di penjara, maju ke garis." dan "Yang teman atau keluarganya pernah dibunuh, maju ke garis."
Pertanyaan terakhir emang kedengerannya sensitif banget, tapi sebetulnya ada nilai yang lebih dalam dari sekadar pertanyaan kepo. Melalui permainan ini, satu anak bisa mengetahui pengalaman teman-teman lainnya. Ini menumbuhkan empati terhadap teman-teman sejawat sekaligus jadi sarana mendekatkan mereka satu sama lain. FYI, Kelas 302 yang berasal dari latar belakang, ras, dan geng berbeda, jadi bullying dan berantem di kelas ini akut banget waktu Ms G pertama kali mengajar di kelas. Dengan mengetahui pengalaman teman-temannya, empati para anak-anak ini juga terbentuk.
2. "Toast for Change". Ada permainan menceritakan pengalaman lewat permainan "bersulang". Ms G menyediakan gelas gelas sampanye yang isinya sparkling cider (semacam soda rasa apel) yang menyerupai sampanye yang akan dibuat bersulang untuk hal-hal yang muridnya ingin lakukan di masa depan. Dalam konteks ini, sampanye diartikan sebagai simbol untuk hidup yang lebih baik. Jadi saat proses bersulang dengan mengangkat "sampanye", murid-murid menyampaikan keinginannya di masa depan. Misalnya, satu murid bercerita bahwa ibunya mengandung dirinya di usia yang sangat muda. Dengan bersulang, si murid menyampaikan harapan untuk nggak melakukan hal yang sama.
3. Diary. Ms G ngasih tugas untuk murid-muridnya menulis pengalaman pribadi, setiap hari. Menulis adalah proses sintesis terhadap suatu pengetahuan yang menurutku luar biasa. Lewat menulis, seseorang memproduksi pengetahuan, yang mana menurut taksonomi Bloom, salah satu kemampuan berpikir tingkat tinggi. Dan lewat tulisan yang dibacakan satu sama lain, narasi siswa bisa tersampaikan ke teman-temannya. Tugas menulis diary ini terbukti juga terbukti membekas buat murid-murid kelas 302.
4. Belajar dari pengalaman dan sumber eksternal. Narasi tentang empati juga disintetiskan Ms G lewat cerita Holocaust. Ms G mengajak anak-anak muridnya buat menyelami cerita dari korban Holocaust, sedikit demi sedikit. Ia masukkan nilai-nilai lewat kunjungan ke museum Holocaust, tugas membaca buku Diary of Anne Frank, bahkan mengundang survivor Holocaust dari Belanda untuk menceritakan kisah hidupnya ke murid-murid secara langsung.
Narasi ini mematri empati ke murid-murid Ms G. Hal ini ditambah lagi karena faktor pribadi Ms G sebagai guru yang dedikasinya luar biasa dalam memfasilitasi pembelajaran ini. Untuk melakukan berbagai terobosan pengajaran ini, dia harus membeli buku-buku dengan uang dan sumber belajar sendiri, nganter anak-anak ke museum pakai mobil sendiri, karena yang dia lakukan gak didukung sama pihak sekolah.
5. Pembelajaran tematik. Aspek game changer lainnya adalah pembelajaran "tematik" yang terselubung, berkat kepiawaian Ms G dalam mengajar. Walaupun dia ngajar English Literature, dia juga memasukkan nilai sejarah (sejarah Holocaust) sampai seni (secara ga langsung lewat mengadakan project fundraising seni untuk mengundang narasumber). Dan sebagai guru literasi, Ms G ngasih tugas baca buku-buku yang berkaitan erat dengan hidup murid-muridnya; cerita yang bikin muridnya bisa beresonansi dengan dirinya sendiri. Ini powerful banget sih, karena muridnya jadi tertarik dan relate sama apa yang dia hadapi di kehidupan.
Akhir kata, aku sangat-sangat merekomendasikan guru-guru belajar dari Ms G dan film ini. Metode-metode Ms G yang inovatif dan tepat sasaran bisa ngena ke pokok permasalahan kelas. Tonton fullnya secara legal lewat YouTube Movies and TV di sini (ada iklan tapi gak papa banget!). Meski ini film yang Amerika banget dan mungkin ada metode yang kurang cocok sama budaya dan kondisi sosial Indonesia (misal sampanye, gangster, rasisme parah), kita tetep bisa belajar menjadi guru yang peka dan pintar secara sosial. Pembelajaran tentang empati sebagai napas proses belajar bisa mengantarkan kita ke tempat-tempat luar biasa, sama kaya Ms G yang akhirnya bisa mengantarkan anak-anak muridnya yang dicap "bermasalah" ini sampai ke bangku kuliah, semua karena narasi empati yang diajarkan Ms G.
Mari membumikan empati di pembelajaran!
Komentar
Posting Komentar