Belajar Resiliensi Melalui Persiapan Studi Ke Luar Negeri

Malam tadi adalah malam yang panjang.


Aku mengurus suatu dokumen imigrasi yang harus kubawa ke wawancara visa yang akan dilakukan dua hari lagi. Bayangkan saja, dokumen yang sedemikian penting itu tiba-tiba dibatalkan pihak kampus karena suatu hal. Padahal, proses mendapatkan dokumen ini sangat panjang dan melibatkan banyak pihak seperti pihak kampus serta pemerintah AS.


Karena dokumen pengantar visa dari kampus adalah dokumen krusial untuk mendapatkan visa pelajar, aku pun segera menghubungi pihak kampus. Perbedaan waktu antara Indonesia dan di sana adalah 13 jam dan aku tidak dapat menghubungi mereka secara sinkronus, jadilah aku menunggu email selama semalam suntuk agar tidak melewatkan jam kerja efektif di Seattle, Washington sana. 


Prosesnya begitu intens. Aku mengirimkan email dengan judul "urgent question regarding F1 visa", namun tidak kunjung dibalas karena email dikirimkan ke frontliner Graduate School terlebih dahulu. Orangtuaku heboh. Mereka stres, aku apa lagi. Beradu mulut tidak bisa terhindarkan karena tertekan situasi. Kata mereka, aku harus mengirim email ke orang lain juga. Maka dengan masukan itu, aku mengirimkan email untuk minta bantuan ke banyak pihak, ke admisi kampus, ke orang yang aku kenal di kampus, ke PERMIAS, ke kedubes, bahkan Departemen of Homeland Security AS yang mengurus imigrasi mahasiswa internasional. Betapa ruwetnya. Betapa pusingnya! You wouldn't know if you're not there. Untungnya, aku berhasil menghubungi salah satu DSO (Designated School Officer) kampus yang membantuku melewati masalah ini, meski awalnya aku sempat kebingungan karena ibu yang membantu ini ngomong bahasa Inggris dengan aksen Perancis yang sulit dipahami. Perjalanan masih panjang dan belum wawancara visa sih, tapi semoga kesulitan-kesulitan seperti ini tak terulang lagi di masa depan.


Begitulah, drama visa untuk studi Masters di Amerika Serikat tersebut adalah satu dari banyak drama-drama persiapan keberangkatanku yang lainnya. Visa AS yang terkenal sulit ditembus, ternyata memang bukan main ruwet proses aplikasinya. Isian panjangnya sih tidak masalah, tapi website aplikasinya membingungkan sekali. Sulit jika tidak bertanya atau berkonsultasi dengan pihak yang sudah pernah mendaftar sebelumnya. Hal yang harus diperhatikan juga banyak sekali, dan informasi yang ada bisa sangat overwhelming. Dan ya, menavigasi semua hal ini sendirian tanpa agen membuat aku yang noob ini beberapa kali "tergelincir"ke kesalahan-kesalahan sepele yang mempengaruhi hal besar di depan. Sempat beberapa kali aku kena marah, frustasi, dan harus menenangkan diri dengan disosiasi dari lingkungan sekitarku selama beberapa saat. Semembingungkan itu. 


Terlebih lagi, aku adalah penerima beasiswa pemerintah yang juga harus banyak berkoordinasi dengan pemberi beasiswa, yang menghadapi isu seperti keterlambatan pencairan dana dan pengurusan dokumen yang seabrek. Bahkan ada juga hal seperti beberapa komponen pendanaan bersifat reimbursement, yang artinya penerima beasiswa harus menanggung biaya-biaya yang besar dengan harga dolar, seperti biaya aplikasi kampus, aplikasi visa, atau deposit kosan. Sebelumnya, kita juga dihadapkan dengan pendaftaran kampus yang proses dan persiapannya panjang juga (baca pengalamanku tentang gagal lalu berhasil  ketika mendaftar kampus di Amerika Serikat di sini)


Seiring aku cerita ini, aku bahkan belum lagi menghadapi studi disana! Menghadapi perbedaan bahasa dan budaya serta atmosfer kuliah yang baru di sana, sempat sangat mencemaskan bahkan untuk aku yang merasa cukup pandai beradaptasi. Aku takut! Aku takut jadi yang paling bodoh di kelas karena aku belum pernah kuliah full time dengan bahasa Inggris. Aku juga takut menghadapi masalah karena aku perempuan berhijab yang tinggal sendirian di negara mayoritas non-muslim. Bener-bener deh, belum berangkat tapi sudah mengkhawatirkan entah apa yang akan terjadi disana, haha :")


Yah, kusadari ternyata ada banyak hal dibalik para penerima beasiswa yang studi ke luar negeri. Tidak sesimpel hanya belajar saja kemudian di sana bersenang senang, jalan-jalan. Dan makin aku masuk dalam proses ini, makin aku dihadapkan dengan bermacam-macam kewajiban, yang tidak dipungkiri akan selalu ada ujiannya. Ada perjuangan di balik itu semua, dan resiliensi para pelajar ini diuji pada saat itu. Suatu pengalaman yang sungguh berbeda dengan ketika kita studi lanjut di negara sendiri. Tapi ya gak apa-apa, belajar resiliens untuk proses ini, cause the price is worth it!


Terima kasih pada proses ini yang bikin aku belajar resiliensi, jauh sebelum berangkat :)





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daijoubu Guitar Chords by Monkey Majik

Membangun Pendidikan Humanis Melalui Mindset Humanis