Evaluasi Belajar?
Seperti mahasiswa jurusan pendidikan lainnya, saya diwajibkan untuk mengambil mata kuliah Evaluasi Pembelajaran. Sebuah mata kuliah yang sangat penting, karena
selama ada sekolah, pasti ada yang namanya tes evaluasi. Tentu saja sebagai
guru kita akan senantiasa dihadapkan dengan pembuatan soal tes bukan? Mata kuliah ini
mempelajari pembuatan soal beserta teknik-teknik penilaian. Banyak hal yang
saya pelajari di mata kuliah ini, menyadarkan saya betapa dunia evaluasi
belajar ternyata kompleks dan membutuhkan banyak perhatian.
Dan hari ini kami ditugaskan membuat
soal tematik. Tidak ada yang aneh dari mata kuliah ini, materinya terstruktur,
dosennya pintar. Hanya saja, ada satu yang mengganjal ketika saya melihat
kompetensi dasar yang diberikan sebagai panduan saya membuat soal.. Kompetensi
yang diberikan sulit, bahkan bagi saya yang sudah berkuliah. Lebih sedih lagi, soal ini sulit karena
bersifat hafalan dan sak klek. Apakah anak anak kelas 5 dapat mengerjakan soal
yang begitu susah ini?
Evaluasi pada kurikulum 2013 tidak
hanya menilai aspek kognitif (pengetahuan) saja, tetapi juga menilai aspek
afektif (sikap) dan psikomotorik (gerak). Ya, ini memang menambah beban
penilaian yang dilakukan guru, tapi di sisi lain mempunyai tujuan yang sangat
mulia. Kita senantiasa berpikiran bahwa belajar adalah segala yang kita
hafalkan, yang berbau saintifik, dan penuh teori semata. Dengan adanya
penilaian terhadap sikap dan bahkan juga penilaian terhadap gerak fisik,
setidaknya kita bisa memanusiakan manusia dengan tidak hanya melihat seseorang
dari pengetahuan kognitifnya saja. Sebab, dahulu siswa sekolah hanya dianggap
sebagai robot, diberi segudang informasi yang juga belum tentu bisa membuat
seseorang survive di dunia nyata. Harus hafal pelajaran ini, harus paham
pelajaran itu. Memangnya, pengetahuan umum sekaku itu ya sehingga hanya
berwujud hafalan teoritis. Tetapi kini dengan penilaian ketiga aspek yang ada,
sedikit demi sedikit bisa lah kita mengharap pendidikan yang lebih ideal,
modern, dan tidak kolot.
Tetapi sedih, saya rasa masyarakat kita
belum sepenuhnya move on dari pola pikir zaman dahulu itu. Masih saja kita
temui pengetahuan yang dinomorsatukan di mana mana, salah satunya di soal
evaluasi yang diberikan sekolah. Pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan
yang hanya didapat dari buku teks tebal. Terus terang, saya sendiri melihat
soal soal kelas 5 bingung karena saya rasa terlalu sulit bagi anak SD bahkan
yang sudah kelas atas. Soal-soalnya masih sangat berorientasi pada hafalan,
yang mana merupakan kemampuan berpikir paling rendah dalam standar Taksonomi
Bloom. Dan yang lebih parah lagi, soal yang sulit dan mengandalkan hafalan,
ternyata tidak juga membuat kita sepintar itu.
Soal masih saja dibuat susah dan kaku
dengan alasan untuk memenuhi kompetensi "dasar". Semakin banyak
kompetensi dasar yang diberikan dianggap akan memperluas wawasan peserta didik
kita. Well, memperluas wawasan memang baik, tapi saya pikir tidak perlulah
sampai menjadikannya penilaian terpenting, bahkan saking pentingnya dapat
mempengaruhi hidup seorang siswa. Inilah yang membuat kita sering menemui anak
yang mati-matian menghafal rumus atau apalah dengan alasan ia harus mendapat
nilai bagus agar bisa tembus sekolah impiannya. Padahal, hafalan cuma bikin
kita pinter sekian persen, karena toh yang banyak terjadi adalah hafalan itu
menguap setelah ujian saking banyaknya. Materi belajar itupun gagal masuk dalam
diri peserta didik seutuhnya.
KD yang ada semata mata hanya target
yang dikejar tayang. Akibatnya ngejar KD? Gak ada yang masuk ke otak karena
terlalu ngebut. Tiap ujian belajar, ngerjain soal, terus dilupakan. Padahal
daripada ngejer KD yang terlalu banyak itu, mending jam pelajaran dibuat baca
buku…. Buku jelas bikin kita pinter, dari sisi pengetahuan umum mapun bahasa.
(Tapi kalo ngitung blm tentu) Dan tidak nyiksa juga karena ga harus diapal.
Masalah belajar berbasis hafalan ini
seringkali bermuara dari guru yang hanya memberi materi pelajaran seadanya. Guru
hanya menyampaikan ceramah membosankan tanpa menyelipkan pemahaman berbasis
pengalaman (experiential learning). Guru ini memandang peserta didik sebagai
robot, lupa bahwasannya peserta didik merupakan makhluk yang sejatinya bisa
melakukan lebih dari sekadar mendengarkan ceramah. Peserta didik adalah manusia
aktif yang dikaruniai mata, peraba, perasa, penciuman untuk mendapatkan
informasi sehingga akhirnya dapat menciptakan karsa. Karenanya, semua indera
harus dikerahkan dalam proses mendapatkan informasi, yang dapat difasilitasi
dengan pembelajaran yang bermakna, bukan yang didapat melalui ceramah saja.
Kita lupa akan misi awal
pendidikan, yakni memanusiakan manusia. Kita dibutakan oleh tabir bernama “nilai
pengetahuan/kognitif". Jangan lagi!
Pengalaman konkret serta kegiatan yang menyenangkan merupakan kunci dari pembelajaran yang bermakna. Koneksi antara pembelajaran dengan peserta didik yang hanya didapat melalui proses pembelajaran eksperiensial. Tanpa disadari ribuan tahun lamanya nenek moyang kita belajar bertahan hidup dengan belajar secara eksperiensial. Orang purba tidak belajar teori dari buku teks, melainkan seluruhnya learning by doing. Cara yang dilakukan untuk membunuh hewan sulit dan tidak efektif, coba cara lain lagi tanpa adanya tulisan-tulisan yang membantu mereka. Bolak-balik hal tersebut dilakukan, hingga teori tercipta dengan sendirinya. Kini zaman memang sudah berubah, teori digunakan untuk mendasari suatu kegiatan agar berlangsung lebih efektif. Tapi kok rasanya, semakin kesini malah sebaliknya. Teori dipelajari tanpa henti tapi lupa menyertakan praktik. Itu kan, menunjukkan kalau kita melupakan sejarah dan hakikat kita sebagai makhluk pembelajar.
Merubah sistem tidak sesulit merubah
paradigma memang. Kalau ingat belajar, ya mesti yang susah susah. Meyakinkan
sekolah, meyakinkan orangtua, masyarakat bahwa kita tak lagi seharusnya hidup
dengan pengetahuan kaku seperti itu, bagaimana caranya?
Saya rasa semua itu bisa dimulai dari unit paling kecil, yaitu kita sendiri. Sudah waktunya kita tinggalkan pemikiran bahwa belajar hanya menghafal teori dan rumus.. Mari pindah. Pindah ke paradigma untuk menjadi pembelajar sejati.
Komentar
Posting Komentar