Membangun Pendidikan Humanis Melalui Mindset Humanis
Sebagai pelajar dan pengajar, aku secara langsung merasakan dan melihat banyak fenomena-fenomena di dunia pendidikan Indonesia. Tentu banyak hal baik yang kudapatkan dari proses pendidikan, diantaranya mendapat kesempatan bersekolah di tempat yang memungkinkanku belajar banyak. Tetapi tentu, banyak juga kekurangannya. Aku melihat kesenjangan dalam pendidikan, dimana yang berduit mempunyai posisi lebih menguntungkan dalam pendidikan formal. Pendidikan yang dilakukan bertahun-tahun, namun gagal diamalkan dalam kehidupan nyata. Pendidikan yang terobsesi pada nilai nominal, pendidikan yang terbatas pada buku pelajaran. Pendidikan yang menyeragamkan kita bagai robot. Pendidikan yang tidak digunakan untuk mengembangkan individu, melainkan mempermudah kepentingan golongan tertentu saja.
Intinya,
aku melihat proses “pendidikan” yang tidak benar-benar memahami hakikat pendidikan.
Hal ini mengusik dari perspektifku sebagai mahasiswa sekaligus guru.
Aku
pun mencoba menelisik permasalahan ini dan merenungi, hal macam apa yang
pengajar dan pelajar sepertiku inginkan dalam pendidikan? Kami menginginkan
pendidikan yang membebaskan, bukan mengekang. Kami ingin pendidikan yang
mendukung potensi terbaik kami sebagai manusia. Pendidikan yang memenuhi hak
seluruh aktornya.
Karena itu, berbicara dari kedua sudut pandang itu, tiada hal yang lebih kuinginkan selain pendidikan yang humanis.
Humanis menurut Abraham Maslow adalah ketika manusia dapat memenuhi kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki, kebutuhan akan harga diri, dan kebutuhan akan aktualisasi diri. “Pendidikan yang humanis” adalah keadaan ketika seluruh kebutuhan tadi dapat dipenuhi melalui praktik-praktik pendidikan.
Pendidikan
di Indonesia, di sisi lain, mempunyai banyak dimensi. Pendidikan terjadi di
rumah, di tempat bermain, di masyarakat, di instansi pendidikan. Ia terjadi di
ranah non-formal maupun formal. Artinya, pendidikan bersifat sangat luas sehingga
aktor-aktornya pun beragam.
Untuk merealisasikan pendidikan yang humanis, seluruh masyarakat harus ikut mengadopsi pemikiran humanis, yang tentunya mendorong seluruh kebutuhan aktor pendidikan. Sayangnya, banyak yang hanya memberikan sebagian dari banyak kebutuhan, misalnya memenuhi kebutuhan fisiologis/fisik saja, tapi belum memberikan kebutuhan akan rasa kasih sayang, rasa harga diri, dan aktualisasi harga diri kepada subjek-subjek pendidikan. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan pemahaman yang sama akan humanisme pendidikan.
Lantas, bagaimana cara kita merevolusi pemahaman humanisme dalam luasnya dimensi dunia pendidikan? Jawabannya, kita harus memulai perubahan dari unit terkecil, yakni diri sendiri.
Kita
dapat melakukan hal sesederhana mengubah pola pikir masing-masing.
Mulai
dengan memahami bahwa pendidikan tidak hanya sekadar mencari nilai atau
pengetahuan tanpa makna. Explore dan temukan passion yang tepat
untuk diri kita. Rawat dan besarkan passion itu, tanpa takut berbeda
dari orang lain dan tanpa mengabaikan passion orang lain pula.
Intinya, pendidikan harus mempertimbangkan kemanusiaan serta dipandang sebagai proses untuk memenuhi kebutuhan fisik, rasa aman, rasa kasih sayang dan rasa memiliki, harga diri, dan kebutuhan akan aktualisasi diri sendiri maupun orang lain.
Jika mindset sederhana ini tertanam di masyarakat kita lewat individu-individu yang menjadi orangtua, guru, pegawai instansi, anggota masyarakat, dan siswa, aku rasa bolehlah kita dapat optimis pada masa depan pendidikan. Sebab, mindset akan termanifestasi melalui perbuatan, perbuatan akan menghasilkan gerakan-gerakan akar rumput. Meskipun internalisasi pemahaman ini pasti memerlukan waktu yang lama agar dapat mengakar, mindset yang kuat dalam diri seseorang berpengaruh besar pada revolusi humanisme pendidikan.
Lebih lanjut, mindset dapat membuat para pembuat kebijakan yang merancang kurikulum, sekolah dan guru-guru, untuk mengarahkan pembelajaran ke arah humanisasi pendidikan. Dengan mindset humanis, sekolah, instansi, dan pemerintah akan lebih memperhatikan well-being dan kebutuhan aktor pendidikan sebagai manusia. Jadi walau terlihat sederhana, mindset merupakan tonggak penting yang akan sangat berharga membentuk pendidikan.
Melalui mindset humanis yang menyeluruh dan kolektif, pendidikan dipahami sebagai proses pendukung pikiran-pikiran kreatif, kritis, yang memberi ruang bagi seluruh potensi diri sendiri maupun orang lain secara inklusif dan universal, agar seseorang dapat menjadi manusia yang utuh. Dengan begitu, tidak akan ada kapitalisasi di pendidikan, tidak ada pendidikan yang menjajah kemampuan-kemampuan unik kita sebagai manusia, tidak ada yang tertinggal secara akademis karena semua dapat belajar/sekolah, tidak ada urusan administratif yang mengekang kemajuan. Yang ada hanyalah pendidikan yang dipahami bersama sebagai proses luar biasa yang dinamakan “memanusiakan manusia”.
Tentu
saja, aku tak bisa mengatakan bahwa solusi ini dapat mengubah pendidikan
Indonesia seutuhnya. Perubahan mindset merupakan satu langkah kecil dari
sekian banyak langkah yang harus ditempuh, karenanya harus diintegrasikan
dengan solusi-solusi lainnya. Tapi setidaknya, ia menjadi awal yang membantu
kita selangkah lebih dekat kepada perubahan.
Semangat selalu untuk membangun pendidikan di Indonesia!
*Esai ini merupakan entri lomba Sejuta Cita Future Leaders dan berhasil menempati ranking 25 terbaik se-nasional. Terima kasih SFL!
Komentar
Posting Komentar