Ditengah Gempuran Administratif, Bisakah Kita Tetap Bertahan?

Saya tak pernah merasa pembelajaran saya membosankan. Saat merancang RPP dan media belajar selalu saya upakan agar menarik. Tetapi ketika melihat layar gmeet yang menampakkan beberapa anak menguap di kelas.. Saya tercenung. Saya tahu saya harus mencari cara lain yang takkan membuat mereka mengantuk. 



Saya tahu betul perasaan dan alasan mereka mengantuk, tidak fokus melihat layar. Tentu saya mengetahui ini karena saya juga sering mengalami ini ketika diajari dosen.

Saya dapat menebak alasan mengapa mereka mengantuk, terlepas usaha saya merancang media belajar yang menarik. Saya kurang melibatkan mereka dalam pembelajaran.. Dan karenanya, saya harus kembali mencari cara-cara lain untuk melibatkan mereka secara lebih interaktif.

Apakah evaluasi ini diberikan oleh guru yang menilai cara mengajar saya? Tidak.. terlihat beliau tidak begitu mempermasalahkan hal itu. Begitu juga teman teman saya yang mengajar lama-lama. Daripada itu, mereka malah mempermasalahkan jika waktu ceramah di Gmeet lebih cepat dari yang telah ditentukan di RPP. Atau ketika saya lupa mencantumkan tandatangan saya di RPP. Hal hal yang menurut saya.. Penting sih penting, tapi terlalu teknis sehingga lupa memperhatikan substansi dan isi pengajaran itu sendiri. Memang peraturan-peraturan berguna bagi kita agar dapat melaksanakan suatu proses secara rapi dan terstruktur. Akan tetapi di sisi lain ternyata bisa membebani juga. Apakah ini budaya yang sudah mendarah daging ya? Haruskah kita salah fokus terus ketika membenahi sistem pendidikan kita?

Hal yang saya anggap sebagai masalah ini ternyata hanya saya sendiri yang merasakan. Mungkin ada mahasiswa pendidikan keguruan lain yang merasa ini janggal… Tapi seringkali gagal menyampaikan pendapatnya secara langsung. Hanya mbatin saja, karena toh yang lain tidak mempermasalahkannya. Kenapa saya harus ribut? Ini juga baru praktik mengajar saja kan? 

Tapi, mindset yang dianggap angin lalu tersebut terus berkembang pada mahasiswa tersebut. Seiring waktu, sang mahasiswa terus mengajar dan memaklumi budaya "urusan adminsitratif" yang ada. Ia pun terus menerus melakukan segala urusan administratif sehingga tiada lagi waktu untuk memperbaiki cara dia mengajar. Terlalu lelah, ia pun mengajar dengan cara yang membosankan itu.. Tanpa strategi, ia terus memberikan metode ceramah tanpa makna dan evaluasi. Dan.. akhirnya melekat terus hingga menjadi guru betulan di sekolah.

Saya melihat sendiri fenomena tersebut. Pada teman-teman yang mengajar, pada guru-guru yang mengajari saya, dan pada diri saya sendiri.

Bisakah kita tetap bertahan pada idealisme kita?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar Resiliensi Melalui Persiapan Studi Ke Luar Negeri

Daijoubu Guitar Chords by Monkey Majik

Membangun Pendidikan Humanis Melalui Mindset Humanis