Theory without practice should be illegal. Integrasikan siswa dalam pembelajaran Experiential Learning!

Coba bayangkan jika kamu diminta untuk datang ke danau yang luas. Kamu ditugaskan untuk menggali tanah dan mencari cacing-cacing, menemukan pohon-pohon indah, mengamati jenis-jenis burung, dan mencelupkan kaki di air danau yang dingin bersama dengan ikan-ikan. Apakah kamu akan merasa terbebani dengan kegiatan-kegiatan tersebut? Adakah rasa mengantuk atau bosan yang melandamu? Tentu tidak, terlebih jika kamu belum pernah melihat danau sebelumnya. Kegiatan tersebut begitu nyata dan menyenangkan, hingga tidak ada yang mengira bahwa acara “jalan-jalan” tersebut ternyata merupakan proses belajar materi ekosistem pada pelajaran IPA.

Meskipun tanpa buku dan teori-teori berbentuk tulisan, kamu tetap dapat belajar dengan cara turun melihat, mengamati, merasakan, pengalaman secara langsung. Pada contoh sebelumnya, misalnya, benda-benda di alam memungkinkan kita untuk belajar mengenai ekosistem. Tak hanya sekadar membaca pengertian tanah melalui buku teks, melainkan langsung diajak “meraba” pembelajaran tersebut secara nyata. 


Bandingkan dengan saat kamu duduk rapi di kelas dan harus mendengarkan guru menjelaskan materi sejarah selama 1 jam non stop di siang bolong. Betapa tak bedanya dengan dongeng pengantar tidur siang. Dan betapa tidak berharganya rasanya siswa yang diceramahi karena hanya mendengarkan semua itu, menyia-nyiakan potensinya sebagai pembelajar.

Di tengah-tengah situasi yang serba tidak menguntungkan, emosimu juga tercampur antara sedih, kesal, dan tentu saja ngantuk. Gimana tidak? Kamu mati-matian mencegah air mata yang keluar setiap kali menguap lebar. Padahal, kamu sudah melewatkan banyak slide PPT yang hanya berlalu begitu saja di telinga tapi tak ada yang masuk ke otak. Bahkan beberapa teman-temanmu sudah tidur sejak lama. Tidakkah kamu berpikir, what are we doing with all of these? Kita ngapain sih belajar kaya gini, padahal mahal-mahal bayar untuk kuliah atau sekolah? Mungkin saja ada satu dua siswa yang setia mendengarkan paparan si guru, tetapi tetap saja, siswa tersebut tidak merasa mempunyai koneksi apa-apa dengan pelajaran sejarah tersebut. Hanya sebagai pengetahuan umum yang mungkin beberapa hari lagi akan terlupakan seiring banyaknya informasi lain yang masuk.


Nah, experiential learning pada contoh pertama menawarkan solusi untuk membantu peserta didik agar merasa terhubung dengan pelajaran, yakni dengan mengajak peserta didik masuk dan merasakan sendiri suatu proses pengalaman. “Meraba” pembelajaran ialah salah satu proses penting experiential learning. Pada experiential learning, peserta didik dapat menggali pengalaman sendiri atau difasilitasi oleh guru. Karena “disetir” oleh peserta didik, pembelajaran diharapkan lebih mudah dipahami. Dan karena merasa terlibat dalam prosesnya, pembelajaran pun jadi terasa menyenangkan, memperkecil kemungkinan membuat seorang siswa tertidur di kelas ketika belajar.


Sedangkan metode ceramah pada contoh kedua merupakan metode yang kontra dengan experiential learning. Metode tradisional tersebut kerap membuat siswa-siswa mengantuk karena siswa hanya mendengarkan pemaparan materi secara pasif. Adopsi pembelajaran metode ini memang praktis bagi guru, tapi metode ini hanya memandang peserta didik sebagai robot. Metode ceramah lupa bahwasannya peserta didik merupakan makhluk yang sejatinya bisa melakukan lebih dari sekadar mendengarkan. Peserta didik adalah manusia aktif yang dikaruniai tidak hanya indera pendengaran. Ia mempunyai mata, peraba, perasa, penciuman untuk mendapatkan informasi sehingga akhirnya dapat menciptakan karsa. Karenanya, semua indera harus dikerahkan dalam proses mendapatkan informasi, yang dapat difasilitasi dengan pembelajaran melalui pengalaman atau experiential learning.


Pengalaman konkret merupakan kunci dari experiential learning. Tanpa pengalaman yang konkret dan nyata, transformasi pengetahuan sulit terjadi. Transformasi dalam hal ini adalah koneksi antara pembelajaran dengan peserta didik yang hanya didapat melalui proses experiential learning. Bahkan, tanpa disadari ribuan tahun lamanya nenek moyang kita belajar bertahan hidup dengan experiential learning lho. Orang purba tidak belajar teori dari buku teks, melainkan seluruhnya learning by doing. Cara yang dilakukan untuk membunuh hewan sulit dan tidak efektif, coba cara lain lagi tanpa adanya tulisan-tulisan yang membantu mereka. Bolak-balik hal tersebut dilakukan, hingga teori tercipta dengan sendirinya. Kini zaman memang sudah berubah, teori digunakan untuk mendasari suatu kegiatan agar berlangsung lebih efektif. Tapi kok rasanya, semakin kesini malah sebaliknya. Teori dipelajari tanpa henti tapi lupa menyertakan praktik. Itu kan, menunjukkan kalau kita melupakan sejarah dan hakikat kita sebagai makhluk pembelajar.


Jadi, Pak dan Bu! Ngga ada gunanya belajar teori tanpa praktek, ngeri rasanya murid mengingat 12 tahun harus belajar teori sebanyak ini. Padahal, kita sebagai siswa pengen melakukan sesuatu yang konkrit. We could be better than this. Bapak atau Ibu bisa mengupayakan apalah supaya pembelajarannya gak ngantuk, contohnya dengan experiential learning ini. Atau, sejak awal sekolah atau kampus harusnya jangan terlalu banyak memberi teori. Devastating dan ngabisin waktu. Ingat, para generasi muda yang kalian didik adalah tumpuan bangsa yang harus melakukan hal konkrit untuk negara! Dan belajar praktik pastilah dapat menyumbang banyak persen dari keberhasilan itu.


Saya rasa, sudah waktunya kita mengubah paradigma belajar yang hanya terbatas pada teori. Praktik, sentuh, dan rasakan sendiri pelajaran itu, dan lihat betapa cepatnya materi itu akan masuk pada diri peserta didik!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar Resiliensi Melalui Persiapan Studi Ke Luar Negeri

Daijoubu Guitar Chords by Monkey Majik

Membangun Pendidikan Humanis Melalui Mindset Humanis