Kembali ke sekolah. Mau pakai protokol seketat apapun ok, asal kembali ke sekolah!

 


Ini adalah kekhawatiran bertumpuk dari saya, seseorang yang risau melihat keadaan dunia pendidikan di Indonesia sejak pandemi Covid-19 melanda. Saya khawatir pada peserta didik yang harus belajar jarak jauh di masa pandemi ini. Saya adalah peserta didik, adik saya adalah peserta didik, dan anak-anak SD yang saya ajarkan juga peserta didik. Kami memang berbeda jenjang, berbeda umur. Tetapi di masa pandemi ini, kami menghadapi hal yang sama; belajar jarak jauh. Saya melihat dan merasakan sendiri banyaknya kesulitan yang terjadi. Mulai dari hal fisik seperti keterbatasan perangkat serta skill teknologi, efektivitas belajar, dan keadaan lingkungan dan sosial. Izinkan saya memaparkan beberapa alasan mengapa belajar jarak jauh harus kita tiadakan dan KBM sekolah kembali dilaksanakan.

 

Pertama, keterbatasan perangkat dan skill teknologi terhadap belajar jarak jauh. Bukan rahasia lagi bahwa ini masalah akut ketika belajar jarak jauh. Karena belajar daring dianggap solusi yang paling memungkinkan, mau tidak mau peserta didik harus siap ponsel serta jaringan internet yang memadai. Padahal, jaringan dan penetrasi internet di Indonesia belum menyeluruh. Sinyal internet juga bukan yang terbaik dan tercepat. Tidak masalah bagi peserta didik di kota yang lebih melek teknologi, tapi perlu diingat bahwa negara kita mempunyai lebih banyak daerah pedesaan daripada perkotaan. Literasi digital belum menyentuh masyarakat secara luas. Artinya, daerah pedesaan yang sekolah-sekolahnya diliburkan menemui masalah ini. Meskipun pemerintah memberi keringanan kurikulum di masa darurat, tetap saja beberapa kompetensi inti sulit mereka capai jika hanya bertumpu pada PJJ. Dibutuhkan beberapa “palang penyokong” untuk memastikan peserta didik benar-benar mencapai kompetensi inti yang ada, dan itu membutuhkan lebih dari sekadar pembelajaran online. Terlebih bagi anak jenjang rendah yang membutuhkan banyak interaksi fisik dan belajar di luar kelas, perangkat seperti ponsel dan laptop tentu kurang maksimal dalam memenuhi kebutuhan tersebut.

 

Kedua, pandemi dan belajar online mempengaruhi efektivitas belajar. Memang, efektivitas belajar online bervariasi tergantung gaya belajar peserta didik, tetapi tentu jika masalah perangkat telah diatasi. Artinya, jika perangkat belum mumpuni, efektivitas belajar juga akan bermasalah. Lalu kalau semisal perangkat sudah teratasi, apakah lantas belajar bisa lebih efektif? Belum tentu juga. Sebagian masyarakat akan merasa efektif dari segi waktu dan tempat, tapi bagi yang tidak cocok akan merasa jenuh, tertekan, kehilangan, sedih, tidak semangat, tidak nyaman dan emosi-emosi negatif lainnya. Pembelajaran daring juga sulit untuk memfasilitasi pembelajaran yang membutuhkan kontak fisik seperti praktik belajar. Hal tersebut seringkali disebabkan kurangnya kreativitas guru dan sekolah dalam mengolah proses belajarnya. Di masa pandemi, beberapa guru juga mempunyai keterbatasan mengelola pembelajaran menyenangkan yang sesuai kebutuhan peserta didik. Akhirnya guru pun sering menyelenggarakan pembelajaran monoton seperti ceramah yang tidak hanya membosankan, tetapi juga sulit dipahami peserta didik.

 

Ketiga, keadaan lingkungan dan sosial yang kurang mendukung pembelajaran jarak jauh. Pembelajaran jarak jauh mempunyai dua aktor penting yang membantu belajar peserta didik, yaitu guru dan orangtua. Jika satu saja peran tidak dapat dijalankan dengan baik atau hilang sama sekali, peserta didik (khususnya siswa jenjang rendah) akan sulit belajar dengan efektif. Anak jenjang rendah yang tidak mendapat pendampingan tepat dari orangtua bisa lari ke kegiatan dan lingkungan tidak berfaedah seperti ngegame dan pergaulan anak nakal. Di sisi lain, orangtua juga harus bekerja mencari nafkah sehingga tidak dapat mendampingi belajar anak. Pada keadaan ini, guru juga tidak dapat berbuat banyak karena tidak dapat mengontrol peserta didik secara langsung. Akibatnya, sekolah online tidak mempan menghasilkan insan-insan produktif, malah bisa bisa menambah beban masyarakat L

 

So, my point is, kita harus sudahi pembelajaran jarak jauh saat pandemi. Iya sih kasus memang melonjak.. Tapi apakah sudah terlalu lama kita meliburkan sekolah? Padahal mal dan pasar saja boleh dibuka, kenapa giliran pendidikan yang sama pentingnya dengan aspek ekonomi tidak bisa? Kalau memang di beberapa tempat penyebaran virus separah itu, okelah daring sejenak, tapi jangan terus-terusan dong. Sekolah juga perlu buka.

 

Saya sangat menyadari ada banyak upaya pemerintah untuk mendukung PJJ, seperti penyederhanaan kurikulum, kebebasan untuk memberikan pembelajaran dengan menyesuaikan kondisi setempat, bantuan kuota, pemberdayaan TV nasional sebagai media belajar, dan cara-cara lainnya. Bahkan tak hanya pemerintah saja, masyarakat juga banyak membantu dengan mengadakan sanggar belajar berbasis kerelawanan. Tapi disini, saya hanya menekankan bagian kontra yang sama beratnya, sehingga dapat memperkuat argumen bahwa kita harus kembali bersekolah walaupun pandemi. Boleh terapkan penutupan sekolah, tapi please, jangan lama-lama. Sebagian besar dari kami bahkan ada yang belum pernah mendatangi sekolah baru, sebagian kehilangan masa-masa emas karena tidak kunjung ke sekolah selama lebih dari satu tahun.

 

Silakan terapkan protokol ketat. Pakai masker dan face shield, belajar di lapangan outdoor, terapkan peraturan mencuci tangan tiap sejam sekali, lakukan shift-shift kelompok di sekolah. Apapun boleh, asal peserta didik bisa kembali belajar ke sekolah!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar Resiliensi Melalui Persiapan Studi Ke Luar Negeri

Daijoubu Guitar Chords by Monkey Majik

Membangun Pendidikan Humanis Melalui Mindset Humanis