Belajar Dari Perspektif Lingkaran Kecil
Ada yang bilang, jangan mengeluh dan memprotes tanah yang kamu tempati. Tapi bagaimanalah, belajar di jurusan pendidikan membuatku melihat dengan jelas potret pendidikan negara ini. Potret yang masih menunjukkan kelabilan, kebingungan, dan ketidakmampuan melakukan hal yang paling vital sekalipun. Setidaknya itulah yang saya pikirkan ketika sedang mengerjakan RPP untuk persiapan mata kuliah Microteaching.
Saya harus memperbaiki RPP saya karena ada mata pelajaran Matematika pada pembelajaran tematik yang akan saya ajarkan. Rupanya, sejak beberapa tahun lalu pelajaran Matematika sudah dipisahkan dari buku tematik. Saya pun harus mencari lagi buku tematik terbaru yang sudah direvisi di internet. Entah kenapa hal ini membuat saya kesal sendiri. Bukan, bukan kesal karena mencari buku tematik lagi.
Saya membayangkan ada sekolah sekolah yang berada di kota, akan dengan mudah menyesuaikan diri dengan kurikulum yang baru. Sekolah di kota sih bisa saja mendapat buku tematik terbaru dengan cepat, tetapi Indonesia itu luas dan masih banyak daerah pinggir yang jauh dari dinamisnya kehidupan kota. Bagaimana mungkin bisa mendapat buku tematik terbaru dengan cepat kalau jaraknya beribu-ribu kilo dari kota pusat pembuat regulasi?
Mengapa sistem harus berubah-ubah
seenak jidat setiap waktu, padahal boro boro pembelajaran tematik, daerah pinggiran
yang pakai kurikulum parsial saja masih ada. Untuk memperbarui agar tak
ketinggalan zaman tidak apa-apa, tapi bagaimana jika nanti harus mengubah
kurikulum 360 derajat?? Butuh berapa tahun setiap wilayah di Sabang sampai
Merauke bisa memakai kurikulum yang sama?
Saya menyampaikan keresahan ini
pada papah saya. Amarah saya meletup-letup ketika menjelaskan masalahnya,
sementara itu beliau hanya mendengarkan dengan kalem. Setelah saya selesai, beliau
menjawab keresahan saya dengan jawaban yang tidak pernah saya duga. “Ada
lingkaran kecil, dan ada lingkaran besar. Lingkaran kecil adalah hal-hal yang
ada di dalam kuasa kita, dan lingkaran besar adalah sistem. Fokus ke lingkaran
kecil,” tegas Papah. Mendengar itu, aku tercenung. Ini seperti salah satu
kebiasaan di 7 Habits of Highly Effective People, buku yang sudah saya hafalkan
namun sering tak bisa menemukan aplikasinya dalam kehidupan.
“Maksudnya, biarlah desa-desa terpencil itu
memakai kurikulum lama, tapi juga diajarkan sesuai dengan kebutuhan mereka di
sana” Jelas Papah lagi. “Tapi kan jadinya ada kesenjangan?? Yang tertinggal
tambah tertinggal, yang di kota jalan terus” Protes saya yang berusaha mencari
pembenaran. “Biar saja.. Biar saja orang-orang kota lebih update kurikulumnya,
kita toh tidak akan bisa menyeragamkan kurikulum di Indonesia yang luas ini.
Impossible! Yang penting adalah guru-guru di daerah bisa menggali local
wisdom yang ada atau tidak. Mau pakai kurikulum 2006 lah, 1990 lah, jika
guru bisa mencari pembelajaran bermakna yang disesuaikan dengan daerah dan
kemampuan anak didiknya, kurikulum itu tidak masalah.” kata Papah.
Papah melanjutkan, “Masalahnya
sekarang adalah SDM nya. Guru guru kaya Audrey besok, kalau mengajar di tempat-tempat seperti Gunungkidul misalnya,
pakai saja buku yang ada. Tapi gali lokalitas di sana, misal berladang,
memancing, dan lain-lain yang relevan dan memang berguna di Gunungkidul. Ya belajarnya
disesuaikan dengan keadaan. Itu yang bisa kalian guru-guru lakukan.”
Papah juga menyuruh saya melihat
pendidikan Finlandia yang cenderung “cuek” karena jarang menengok ke negara-negara
lain. “Mereka gak lihat sistemnya Jepang atau Cina, mereka santai aja karena
dapet matahari aja cuma sebentar dalam sehari. Gak perlu ada PR, gak perlu
takut ketinggalan sama negara lain karena yang penting adalah pendidikan mereka
sesuai dengan kondisi di sana”
Seketika saya terdiam. Percakapan
singkat antara saya dan Papah itu menyisakan malu pada pikiran saya sebelumnya.
Betul, selama ini saya sibuk menghardik sistem dan berkutat dengan
ketidakseragaman yang dihadapi daerah-daerah di Indonesia. Masalah itu toh
tidak akan ada ujungnya. Kompleks, dan kita tidak punya waktu untuk itu.
Saya rasa mentalitas yang saya
punya sebelum berbincang dengan Papah juga ada pada orang-orang lain pula. Saya
sadar bahwa pikiran itu kolot, dan saya tercerahkan mendengar sisi lain pada
hari ini. This is why we should really learn and expand our horizons every day!
Komentar
Posting Komentar