For Those Who Feel Left Out In Their Studies
"We may be different, but it doesn’t make us less." |
Hari ini, saya mengerjakan suatu tugas kuliah yang kebetulan membutuhkan waktu lama sekali untuk menyelesaikannya. Tugas ini memang tidak ada deadline-nya, jadi saya sengaja tidak terlalu ngebut mengerjakannya. Pokoknya take time sampe bener-bener paham lah. Tapi saking pelannya, saya tak sadar waktu sudah berlalu 3 jam lamanya. Satu jam untuk mempelajari, satu setengah jam mengetes soal, dan kurang lebih satu jam untuk mengerjakan 10 soalnya. Mungkin kalian akan bertanya tanya sesusah apa sih soal ini, kok sampe ngerjain 3 jam gak selesai selesai. Ya, memang segini waktu yang saya butuhkan agar benar-benar memahami tugas kali ini.
Soal ini sebenarnya bisa lebih cepat dikerjakan oleh kalian yang punya kapasitas otak lebih dari saya. Saya punya teman yang lebih jago hitungan daripada saya, dan dia hanya butuh waktu 15 menit memahami materi dan 15 menit selanjutnya mengenali pola soal. Setelah mengenali pola soal, ia akan mudah mengerjakan soal latihannya dengan kurun waktu 30 menit—bahkan kurang. Ya, teman saya itu hanya membutuhkan waktu 1 jam saja untuk mengerjakan soal yang sama dengan yang saya kerjakan selama 3 jam.
Dahulu di zaman SMA, saya akan merasa tertekan ketika menemukan momen-momen
seperti ini. Saya tergoda membanding-bandingkan diri dengan teman lain dan
mengutuk diri sendiri tentang ketertinggalan saya. Saya akan bertanya tanya
pada diri, mengapa saya berbeda? Saya sudah berusaha, tapi kenapa tidak bisa
menyamai mereka yang lebih cepat, lebih pintar, lebih sergap padahal kami
mengerjakan soal yang sama? Hal tersebut sempat membuat saya khawatir, mengakibatkan mental
saya juga terkena imbasnya. Ya, mereka sama-sama berusaha seperti saya, tetapi ternyata ada
hal lain yang juga bermain. Kemampuan. Walaupun saat itu kadar usaha kami sama,
kemampuan kami ternyata berbeda.
Saya paham betul bahwa kemampuan saya, khususnya kemampuan otak (yang sudah
diberikan Tuhan sejak lahir seperti IQ), tidak sama dengan teman-teman saya
yang punya daya serap lebih tinggi. Contohnya begini. Jika saya dan teman saya
sama-sama berusaha keras belajar tetapi bedanya teman saya punya IQ 150
sedangkan saya 100, manakah yang lebih cepat menyerap pelajaran? Tentu saja
teman saya bukan? Saya sebetulnya percaya bahwa IQ bukan penentu kesuksesan yang mutlak, tetapi terkadang di saat saat seperti tadi, ia bisa sangat menentukan. Tentu saja kita tak boleh menyalahkan IQ yang sudah kita
dapat sejak kita kecil, karena toh bukan itu masalahnya.
Masalahnya adalah sistem yang membuat saya membodoh-bodohi diri, hanya
karena tidak lebih cepat belajar dari teman-teman saya. Haruskah saya melukai
mental saya dengan kecemasan bahwa saya lebih bodoh dari teman-teman saya?
Haruskah saya menyalahkan diri karena tertinggal dalam satu hal, dalam hal hitung hitungan misalnya?
Jawabannya, tidak. Orang mempunyai kemampuan yang berbeda-beda. Saya teringat pada sebuah analogi yang meminta segerombolan jenis hewan berbeda untuk memanjat sebuah pohon. Beberapa jenis binatang yang dapat memanjat seperti monyet sih dapat melakukannya dengan mudah. Sedangkan beberapa binatang lain, seperti ikan, gajah, kuda, kura-kura hanya bisa tercenung menatap si monyet yang dengan mudahnya memanjat pohon. Tapi bisakah kita menghakimi ikan, kura kura, atau kuda itu bodoh hanya karena tidak bisa memanjat pohon? Umpamanya saya adalah ikan dan teman yang bisa menjawab soal lebih baik adalah si monyet. Walaupun saya ikan yang tidak bisa memanjat pohon, saya mempunyai kelebihan yang belum tentu dimiliki si monyet. Saya adalah perenang paling handal di lautan. Coba saja adakan lomba berenang, pasti ikan-lah yang menang. Hanya sedang kebetulan saja berenang tidak termasuk dalam tes yang diberikan untuk menguji kemampuan saya. Ya, ada banyak hal lain yang kita hebat, sehingga satu urusan “tidak bisa memanjat pohon” tidak semerta-merta menentukan diri kita yang sesungguhnya. Terlebih lagi jika kita sadar bahwa kita tidak sendirian. Gajah, kuda, kura-kura, adalah sekian banyak siswa lainnya yang menghadapi hal sama. Kita mempunyai kemampuan hebat masing masing, cuma ndilalah malah disuruh mengikuti tes dengan standar yang sama.
Jadi, jangan sampai sistem yang ada menjatuhkan kita. Jangan takut
kemampuan kita berbeda sedikit dari standar. Selepas dari bangku sekolah yang
penuh kompetisi, perlahan saya paham esensi belajar sesungguhnya. Kini saya
sadar bahwa tidak apa-apa kok lama memahami sesuatu. Take your time untuk
belajar dan jangan pikirkan orang di sekitarmu. Proses orang lain berbeda-beda!
Mau 3 jam kek, 10 jam kek, yang penting kita sudah berusaha untuk belajar
semampu mungkin. Fokus pada belajar itu sendiri tanpa harus berkompetisi dan
membandingkan diri dengan orang lain, bukankah itu hakikat belajar
sesungguhnya?
Komentar
Posting Komentar