Tepatkah Menunda Sekolah Di Tengah Pandemi?

Person Writing on Notebook
Berdasarkan “Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Pada Tahun Ajaran dan Tahun Akademik Baru di Masa Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19)” yang dirilis pada 15 Juni 2020, pemerintah memutuskan pembelajaran tatap muka di sekolah untuk setiap jenjang pendidikan baru akan dilaksanakan paling cepat September 2020. (Klik link di sini untuk mengunduh file panduan) Hal ini menyebabkan belajar akan terus dilakukan di rumah minimal 3 bulan lagi. Panduan ini merupakan keputusan bersama empat jajaran kementerian yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Dalam Negeri. Sebelumnya, wacana yang menyebutkan sekolah kembali diadakan Juli sempat menuai pro-kontra karena keadaan yang tidak memungkinkan. Adapun sekolah yang boleh dibuka harus berada di wilayah zona hijau, yang hanya mencakup 6% dari peserta didik yang ada. Lantas, apa akibat dari perpanjangan belajar di rumah ini bagi 94% peserta didik lainnya, terutama siswa jenjang sekolah dasar?

Memang, angka penularan Covid-19 di Indonesia masih tinggi dan jika siswa kembali sekolah dikhawatirkan akan mempercepat penyebaran virus. Sayangnya, belajar di rumah saat ini menerapkan metode daring yang menemui masalah dalam pelaksanaannya. Alasan pertama, banyak wilayah di Indonesia masih terbatasi sumber daya. Wilayah pinggir yang masih jarang penggunaan teknologinya, tak dipungkiri membuat guru dan orang tua kebingungan. Kedua, siswa jenjang atas yang mayoritas sudah menggunakan teknologi mungkin bisa saja menggunakan metode ini, tapi bagaimana dengan anak SD yang sangat bergantung pada pembelajaran tatap muka? Guru tidak bisa mengajar secara daring karena tidak semua siswa mempunyai smartphone dan koneksi internet di rumahnya. Orang tua yang diharapkan menjadi pembimbing anak belajar di rumah pun kesulitan mengajar anak-anaknya karena alasan tidak mengerti materi. Belum lagi orangtua yang harus bekerja sehingga anaknya terpaksa ditinggal sendirian di rumah. Semua ini tentu berimbas terhadap efektifitas belajar sang anak yang jadwal belajarnya tidak terstruktur tanpa adanya bimbingan langsung dari orang tua dan guru dari siswa SD. Akibatnya, anak-anak akan lebih rentan melakukan kegiatan yang kurang bermanfaat, seperti bermain atau sekadar menonton TV di rumah seharian.

Oleh sebab itu, pembelajaran di sekolah yang baru akan dilaksanakan September bisa sangat merugikan peserta didik, khususnya jenjang SD, dalam hal kualitas pembelajaran. Memasuki era new normal, pandemi ini tidak seharusnya menghalangi kita melakukan aktivitas seperti sedia kala. Bagaimana cara kita memperhatikan keselamatan peserta didik dan tenaga pengajar, tetapi tidak meninggalkan produktivitas? Menurut saya, masalah ini bisa dijawab dengan protokol dalam Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran, yaitu dengan menggilir siswa dan guru datang ke sekolah. Jumlah hari dan jam belajar dengan sistem pergiliran rombongan belajar (shift) ini memastikan semua siswa bisa belajar dan guru bisa mengajar di kelas tetapi tetap menerapkan physical distancing. Misal dibagi 3 sesi yaitu pagi, siang, dan sore untuk 300 siswa dan 30 guru sehingga setiap sesi diisi 100 siswa dan 10 guru pada satu sekolah. Membagi sesi jadwal belajar tentu tidak cukup. Protokol lainnya seperti pengecekan suhu badan, melarang siswa atau guru yang sakit untuk hadir, serta penyediaan sabun tangan di toilet juga harus diterapkan untuk memastikan keamanan. Protokol kesehatan ini dirasa cukup jika dapat dipatuhi dengan baik. Jika mendapat komitmen seluruh masyarakat, tidak perlu lagi alasan untuk menunda sekolah hingga berbulan-bulan tanpa adanya kejelasan kapan sekolah kembali dilaksanakan. Pendidikan di negara ini pun tidak jatuh terikut angka infeksi Covid-19 yang semakin meningkat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar Resiliensi Melalui Persiapan Studi Ke Luar Negeri

Daijoubu Guitar Chords by Monkey Majik

Membangun Pendidikan Humanis Melalui Mindset Humanis