Belajar Dari Guru-Guru di Daerah Pedalaman
Merebaknya wabah Covid-19
menyebabkan banyak perubahan dalam bidang pendidikan, salah satunya KBM di
sekolah yang diganti dengan belajar di rumah. Hal ini mengharuskan guru sekolah
untuk menggunakan metode belajar yang tentu berbeda dari biasanya, tak
terkecuali Anizar Meuraxa, guru SD 01 Bireun, Kabupaten Aceh. Saya dan teman-teman saya berkesempatan untuk wawancara secara virtual dengan beliau mengenai caranya mengajar di daerah terpinggir Indonesia. Ketika guru-guru
kebanyakan mengajar dengan sistem daring (online) jarak jauh, beliau justru
harus berkeliling rumah siswa-siswanya untuk mengajar. Hal ini dikarenakan
murid serta orangtua di desa Bireun belum mempunyai sarana yang memadai untuk
dapat melakukan pembelajaran online. "Tidak banyak yang punya gawai pintar
di wilayah pedesaan Bireun" jelas guru yang akrab disapa Amna ini.
Menurutnya, pembelajaran dirasa tidak bisa efektif kalaupun dilaksanakan online
karena kompetensi tidak bisa tercapai jika tidak belajar secara tatap muka.
"Permasalahan lainnya adalah banyak
orangtua yang mengeluh karena tidak dapat mengajari anaknya kalau hanya diberi
tugas" lanjutnya.
Untuk mengajar, Anizar
membutuhkan waktu yang tidak sebentar karena jarak antar rumah siswa cukup
jauh. "Kelas yang saya ampu muridnya masih sedikit, ada 26 siswa. Tetapi
yang saya prioritaskan untuk datangi adalah anak-anak yang masih sulit untuk
belajar sendiri dan yang orangtuanya juga susah membimbing anaknya belajar.
Murid yang lain pun juga saya datangi, tetapi tidak sesering murid-murid
tadi" ungkap Anizar ketika ditanya bagaimana sistem belajar yang
dilakukannya.
Nah, terlepas beraneka ragam masalah yang dihadapi, ternyata inisiatif Anizar berkeliling dari rumah ke rumah mendapat hasil yang baik. Siswa dirasa lebih fokus dan paham dengan materi yang di ajarkan. Ketika siswa tidak paham dapat bertanya tanpa rasa canggung, berbeda dengan ketika berada di kelas. Anizar pun mengaku juga lebih mudah menyampaikan materi karena hanya ada satu siswa yang di ajar.
Yang ingin saya garisbawahi dari cerita Anizar di atas adalah tentang bagaimana guru-guru pedalaman seperti beliau bekerja lebih keras dibandingkan mereka yang berada di kota.
Kalau dipikir-pikir lagi, sudah berapa banyak sih berita yang serupa dengan cerita Ibu Anizar di atas? Mungkin masih banyak lagi cerita semacam ini yang tidak timbul ke publik. Guru-guru di bagian timur, guru-guru di perbatasan, sering kita temui di media dan menuturkan cerita senada, menunjukkan betapa terbelakangnya sebagian daerah-daerah di negeri ini. Bayangkan saja, masih terjadi lho metode-metode tradisional semacam mendatangi murid satu satu untuk mengajar, sesuatu yang orang di kota tidak relate barang sedikit pun.
Ya, memberi fasilitas merata di Indonesia merupakan hal yang sulit. Tapi dibandingkan mengeluh kepada pemerintah untuk memperbaiki hal ini, kita bisa belajar dari guru-guru di sana. Orang-orang yang menolak untuk menyerah pada keadaan, tidak seperti kita, yang kalau sinyal internetnya turun dari 4G ke H langsung bingung bukan main. Semoga saja, suatu saat kita paham betapa kita ini orang-orang yang masih beruntung!
Komentar
Posting Komentar