Anak di Lingkungan Kompetitif (Sebuah Opini)
Masa penerimaan siswa baru telah dimulai. Ada yang senang karena dapat diterima di sekolah favorit, ada yang bersedih hati karena gagal diterima dan harus masuk ke sekolah yang tidak favorit. Terkadang tidak hanya siswanya saja, orangtua juga tak kalah sedih. Mereka khawatir, kira-kira bagaimana anakku dapat berkembang dengan baik di sekolah yang tidak favorit?
Perspektif tadi bukannya tidak berdasar. Masyarakat seringkali berpandangan bahwasannya penting untuk kita berkumpul diantara orang-orang cerdas. Ketika kita gagal mendapat tempat diantara orang-orang yang terbaik, ada yang seringkali merasa tertinggal, rendah diri, tak layak, hingga bodoh. Suatu paradigma yang biasa di lingkungan kita, dimana standar kepintaran seseorang ditentukan oleh dimana dia sekolah, apa almamaternya. Namun bagi saya, dimana kita berada tidak mutlak mencerminkan diri kita yang sebenarnya.
Saya sudah pernah menjadi orang biasa diantara orang orang terbaik. Dan juga pernah menjadi yang terbaik di tengah-tengah orang biasa.
Bagi saya, "oke" ketika berkumpul dengan orang-orang yang dapat menularkan semangat belajar yang positif kepada saya, menyebabkan saya tertular oleh pintarnya teman teman. Hal tersebut membuat saya juga berpikiran seperti orang orang pintar. Tetapi, jika tak bekerja keras, orang yang pas pasan akan dengan mudah tersingkir. Apa cara supaya tidak tersingkir? Berusaha lebih dari orang lain. Mati-matian belajar—hanya untuk menyeimbangi diri dengan teman-teman yang lainnya. Bagaimana jika ingin menjadi yang terbaik? Butuh usaha berkali-kali lipat dari itu. Tentu saja hal ini sesuatu yang baik, berkompetisi dalam belajar.
Namun, siswa tak selamanya bisa didorong terus terusan dengan buku teks teoritis atau pemahaman-pemahaman rumit kurikulum mata pelajaran. Psikologis anak tak dapat selamanya didorong habis habisan untuk menjadi yang 'terbaik', karena hal ini bisa mungkin sekali membebani anak secara jangka panjang. Ia akan tumbuh menjadi pribadi yang tertekan sistem. Tertindas secara fisik maupun mental.
Kadang, siswa butuh reward atas kerja-kerja kerasnya. Dan reward itu akan sulit dicapai dalam lingkungan yang kompetitif seperti tadi.
Maka disinilah keuntungan berada di lingkungan yang persaingannya tak terlalu ketat. Ada suatu kepuasan telah melakukan usaha-usaha karena adanya reward berupa eksistensi dirinya di lingkungan tersebut. Orang lain akan melihatnya lebih, tidak seperti lingkungan kompetitif yang, walau tidak mutlak, cenderung merendahkan.
Memang, orang memandang bahwa mengelilingi diri di lingkungan tidak kompetitif akan membuat anak cepat berpuas diri, akan membuat anak malas berusaha karena dengan sedikit usaha saja sudah dapat menjadi yang terbaik. Tapi bukankah itu lebih baik dibandingkan anak yang stress karena tak kunjung menjadi yang terbaik di kelas—terlepas seberapa kerasnya ia berusaha?
Jika anak benar-benar ingin menjadi yang terbaik, ia akan terus berusaha untuk mempertahankan nilainya di kelas. Jika suatu saat ia dikalahkan oleh yang lain, ia akan merasa malu karena sedari awal dia merasa lebih baik dari yang lainnya.
Maka dari itu, berkumpul di sekolah yang tidak terlalu kompetitif bukanlah hal yang terlalu buruk. Di sekolah ini, anak bisa saja bersinar jika orangtua dapat mengarahkan dengan baik. Asalkan anak tidak terbawa pada lingkungan kurang baik yang seringkali ada di sekolah yang kurang kompetitif. Pada akhirnya, tergantung pada orangtua untuk selalu mengawasi dan membimbing anak agar terhindar dari pengaruh negatif lingkungan sekolah.
Maka dari itu, jangan kecewa jika anak tidak diterima di sekolah favorit. Jangan kecewa, hargai anak. Lihatlah sisi positifnya, bisa jadi ini adalah langkah baru bagi anak membangun kepercayaan diri dan prestasi di sekolah barunya!
(Ini adalah opini penulis setelah mempunyai pengalaman sekolah di lingkungan kompetitif dan tidak. Situasi yang digambarkan bisa saja berbeda dengan orang lain. Artinya, pengalaman bisa bervariasi tergantung individu masing-masing. Jika anda mempunyai pendapat, silahkan tinggalkan komentar agar saya bisa mengetahui sisi lainnya!)
Saya sudah pernah menjadi orang biasa diantara orang orang terbaik. Dan juga pernah menjadi yang terbaik di tengah-tengah orang biasa.
Bagi saya, "oke" ketika berkumpul dengan orang-orang yang dapat menularkan semangat belajar yang positif kepada saya, menyebabkan saya tertular oleh pintarnya teman teman. Hal tersebut membuat saya juga berpikiran seperti orang orang pintar. Tetapi, jika tak bekerja keras, orang yang pas pasan akan dengan mudah tersingkir. Apa cara supaya tidak tersingkir? Berusaha lebih dari orang lain. Mati-matian belajar—hanya untuk menyeimbangi diri dengan teman-teman yang lainnya. Bagaimana jika ingin menjadi yang terbaik? Butuh usaha berkali-kali lipat dari itu. Tentu saja hal ini sesuatu yang baik, berkompetisi dalam belajar.
Namun, siswa tak selamanya bisa didorong terus terusan dengan buku teks teoritis atau pemahaman-pemahaman rumit kurikulum mata pelajaran. Psikologis anak tak dapat selamanya didorong habis habisan untuk menjadi yang 'terbaik', karena hal ini bisa mungkin sekali membebani anak secara jangka panjang. Ia akan tumbuh menjadi pribadi yang tertekan sistem. Tertindas secara fisik maupun mental.
Kadang, siswa butuh reward atas kerja-kerja kerasnya. Dan reward itu akan sulit dicapai dalam lingkungan yang kompetitif seperti tadi.
Maka disinilah keuntungan berada di lingkungan yang persaingannya tak terlalu ketat. Ada suatu kepuasan telah melakukan usaha-usaha karena adanya reward berupa eksistensi dirinya di lingkungan tersebut. Orang lain akan melihatnya lebih, tidak seperti lingkungan kompetitif yang, walau tidak mutlak, cenderung merendahkan.
Memang, orang memandang bahwa mengelilingi diri di lingkungan tidak kompetitif akan membuat anak cepat berpuas diri, akan membuat anak malas berusaha karena dengan sedikit usaha saja sudah dapat menjadi yang terbaik. Tapi bukankah itu lebih baik dibandingkan anak yang stress karena tak kunjung menjadi yang terbaik di kelas—terlepas seberapa kerasnya ia berusaha?
Jika anak benar-benar ingin menjadi yang terbaik, ia akan terus berusaha untuk mempertahankan nilainya di kelas. Jika suatu saat ia dikalahkan oleh yang lain, ia akan merasa malu karena sedari awal dia merasa lebih baik dari yang lainnya.
Maka dari itu, berkumpul di sekolah yang tidak terlalu kompetitif bukanlah hal yang terlalu buruk. Di sekolah ini, anak bisa saja bersinar jika orangtua dapat mengarahkan dengan baik. Asalkan anak tidak terbawa pada lingkungan kurang baik yang seringkali ada di sekolah yang kurang kompetitif. Pada akhirnya, tergantung pada orangtua untuk selalu mengawasi dan membimbing anak agar terhindar dari pengaruh negatif lingkungan sekolah.
Maka dari itu, jangan kecewa jika anak tidak diterima di sekolah favorit. Jangan kecewa, hargai anak. Lihatlah sisi positifnya, bisa jadi ini adalah langkah baru bagi anak membangun kepercayaan diri dan prestasi di sekolah barunya!
(Ini adalah opini penulis setelah mempunyai pengalaman sekolah di lingkungan kompetitif dan tidak. Situasi yang digambarkan bisa saja berbeda dengan orang lain. Artinya, pengalaman bisa bervariasi tergantung individu masing-masing. Jika anda mempunyai pendapat, silahkan tinggalkan komentar agar saya bisa mengetahui sisi lainnya!)
Komentar
Posting Komentar