Antara Sistem dan Mental Dibalik UN MTK
Hari ini, Selasa 2 April 2019 rupanya baru gempar oleh angkatan adik kelas yang baru ujian nasional MTK SMA. Di tahun ini saya menemui hal familiar dalam UN tahun ini dengan tahun sebelumnya, yakni Instagram account @kemendikbud.ri yang penuh dengan keluh kesah para siswa karena sulitnya soal UN mata pelajaran Matematika yang mereka kerjakan.
MASIH. Masih saja soal-soal UN tahun ini dibuat sulit dengan dalih "Ini untuk menaikkan kualitas pendidikan.." atau "Ini agar siswa terbiasa berpikir secara high order.." dan membodoh-bodohi kami para siswa dengan cara memberi nilai yang jeleknya gak tanggung-tanggung. Lagi-lagi terjadi di tahun ini dengan kasus sama. Cuma bedanya di angkatan saya kemarin sampe ada gimmick sama hoax segala, yang memperparah suasana.
Buat saya ini menyedihkan. Sampai siswa-siswa seluruh Indonesia pada ngeluh di IG-nya Kemendikbud, dan ada yang kira komenannya cuma buat cari sensasi. Tapi nyatanya saya mengalami hal yang sama dan benar-benar merasakan tekanan luar biasa selepas mengerjakan soal UN MTK tahun lalu. Ada terbesit dalam pikiran saya untuk mengadu langsung ke Kemendikbud, pengen cerita bahwa saya nyaris kehilangan harapan mendapat nilai yang setimpal dengan perjuangan saya selama satu tahun terakhir. Buat yang belum tau, saya punya kelemahan dalam bidang eksak dan itung-itungan. Dengan pengetahuan ini, saya sadar saya harus bekerja dua kali lebih keras daripada orang lain untuk mendapat nilai yang bagus. Maka di tahun terakhir saya di SMA, saya berjuang mengejar ketertinggalan-ketertinggalan saya dengan segala cara seperti pantang bolos les MTK, invest waktu lebih banyak buat belajar dan latihan MTK, bahkan mengurangi porsi belajar mata pelajaran lain untuk mengejar-ngejar materi MTK yang saya kesulitan supaya gak lemah-lemah banget.
Setelah semua yang saya lakukan untuk MTK, pada akhirnya saya merasa bodoh ketika menghadapi soal UN yang begitu jauh prediksinya dari kisi-kisi, soal-soal yang sudah saya pelajari di SMA. Menyajikan masalah, bukan hanya sekadar soal. Soal yang mereka sebut-sebut HOTS pula. Yang membuat masalah lagi adalah, sejak dahulu diajarkan materi tanpa menanyakan masalah. Lalu bagaimana siswa bisa terbiasa dengan sistem HOTS coba kalo begini?
Tahun lalu, yaitu di tahun 2018 setelah UN, saya sudah hampir bulat mengirimkan tulisan protes semacam ini ke Kemendikbud. Entah lewat media sosial atau langsung, saya ingin tanya saja ke sana, bahwa
"Sebenarnya UN untuk apa? Untuk menguji siswa apakah ia lulus kompetensi dasar atau tidak bukan? Lalu kenapa dimunculkan soal soal variasi yang tingkat kesulitannya begitu tinggi? Apakah disengaja agar kami-kami yang otaknya pas pasan ini dapat nilai jelek? Jadi nilai bagus hanya untuk orang orang yang jenius saja ya?"
Saya kira UN adalah soal soal dasar untuk melihat apakah peserta didik sudah lulus kompetensi dasar, tapi kenapa yang dimunculkan di UN adalah soal-soal tingkat tinggi? Apakah dipikir kapasitas otak kami semuanya sama, setinggi itu? Tidak, saya belajar keras sampai stress saja baru belajar yang dasar. Tapi apakah saya akan diberi nilai yang baik dari kerja keras saya? Tentu tidak. Karena yang dilihat hanya nilai, nilai, dan nilai. begitulah sistem pendidikan di negeri saya ini. Saya hanya siswa yang bodoh, terbodohi nilai. Rip mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sebut saya berlebihan karena menanggapi hal "sepele" ini. Cuma UN dibawa baper. "Zaman sekarang UN gak dijadikan standar kelulusan kok" atau "Wong gak butuh lagi nilai UN buat masuk ke universitas" dan sebagainya. Tapi untuk saya, ini bukan semata hanya kesedihan karena Ujian Nasional, atau kemarahan mendapat nilai jelek karena toh ternyata nilai saya masih lewat KKM (dengan tetep ada rasa bahwa hasil tidak sebanding dengan usaha). Tapi tentang keprihatinan betapa beratnya beban yang dipinggul seorang siswa khususnya siswa akhir tahun. Dituntut nilai bagus oleh orangtua, sekolah, dan banyak lagi yang menaruh harapan di pundak kami. Tapi ujungnya nilai do re mi fa sol. Apakah Anda Anda kalau jadi kami kuat? Semua 16 mata pelajaran wajib semuanya harus bernilai bagus! Kalo enggak bagus berarti bodoh! Kalo enggak rengking gak pinter! Ujian ujian yang bertubi tubi menghampiri, termasuk Ujian Nasional ini.
Makanya gak heran ketika banyak ditemui kecurangan dalam ujian. Materi terlalu banyak. Semuanya dituntut agar perfeksionis, menghafal rumus ruwet yang sebenarnya tidak begitu relevan dalam kehidupan nyata. Siswa sudah gak tau mau gimana lagi kalo gak nyontek? Nanti nilainya jelek. Jadi apa boleh buat, nyontek jadi pilihan terbaik.
Mental kita ya jadi kaya gini. Mental bobrok ternyata terbentuk sejak sekolah. Akhirnya banyak koruptor dan kecurangan di negeri ini. Percayakah? Bahwa itu terjadi dan gak cuma isapan jempol. Itu yang dihadapi kami para pelajar bahkan di sekolah favorit sekalipun. Ini hal yang klise bagi anak sekolah, tetapi luput dalam pikiran bahwa ini mengakibatkan masalah besar di masa mendatang. (Malah kalau di sekolah favorit nilai menjadi beban yang lebih berat daripada yang tidak favorit karena ekspektasi berbagai pihak yang juga selangit.)
Indonesia masih negara berkembang, tapi sistem pendidikan idealis bukan main begini. Memang orang-orangnya mampu? Saya pribadi sih tidak mampu. Contohnya, 40 soal matematika yang katanya "dasar" harus dikerjakan dalam waktu 2 jam. Maka alokasi waktu yang dibutuhkan untuk satu soal adalah 3 menit. Yang saya heran apa? Jika saya pakai cara ideal sesuai dengan pembelajaran yang baik dan benar dibutuhkan waktu sekitar 5 menit untuk mengerjakan sebuah soal basic. Belum lagi waktu ekstra untuk meneliti dan mengecek jawaban. Hahahah makanya di bimbel banyak diajarin cara cepat yang bisa di selesaikan dalam waktu 2 menit saja. Nah keliatan kan, suatu sistem yang berorientasi pada nilai dan bukannya ilmu yang bermanfaat? Sebenernya okelah kalo soal-soalnya benar benar dasar. Lah kenapa saya menemukan banyak soal variasi yang tidak pernah muncul di soal latihan yang selama ini pernah dikerjakan? Tujuannya apa? Menaikkan standar? Apakah benar efektif jika standar dinaikkan ketika siswa belum siap, yang ada hanyalah rentetan nilai yang jauh dari standar kompetensi yang diharapkan.
Jadi bukan, bukan hanya semata-mata soal UN Matematika yang saya permasalahkan. Ia representasi isu yang jauh lebih besar dari itu; mental.
Tentang mental yang belum siap tapi digembleng dengan cara yang salah. Dibandingkan berorientasi pada nilai, mengapa tidak terlebih dahulu dimulai dengan sistem yang berorientasi pada moral? Saya tak berharap banyak untuk besok. Tidak perlu ganti sistem, tapi sudah saatnya kita mengganti mental!
MASIH. Masih saja soal-soal UN tahun ini dibuat sulit dengan dalih "Ini untuk menaikkan kualitas pendidikan.." atau "Ini agar siswa terbiasa berpikir secara high order.." dan membodoh-bodohi kami para siswa dengan cara memberi nilai yang jeleknya gak tanggung-tanggung. Lagi-lagi terjadi di tahun ini dengan kasus sama. Cuma bedanya di angkatan saya kemarin sampe ada gimmick sama hoax segala, yang memperparah suasana.
mendapati medsos ramai membicarakan ini. |
Buat saya ini menyedihkan. Sampai siswa-siswa seluruh Indonesia pada ngeluh di IG-nya Kemendikbud, dan ada yang kira komenannya cuma buat cari sensasi. Tapi nyatanya saya mengalami hal yang sama dan benar-benar merasakan tekanan luar biasa selepas mengerjakan soal UN MTK tahun lalu. Ada terbesit dalam pikiran saya untuk mengadu langsung ke Kemendikbud, pengen cerita bahwa saya nyaris kehilangan harapan mendapat nilai yang setimpal dengan perjuangan saya selama satu tahun terakhir. Buat yang belum tau, saya punya kelemahan dalam bidang eksak dan itung-itungan. Dengan pengetahuan ini, saya sadar saya harus bekerja dua kali lebih keras daripada orang lain untuk mendapat nilai yang bagus. Maka di tahun terakhir saya di SMA, saya berjuang mengejar ketertinggalan-ketertinggalan saya dengan segala cara seperti pantang bolos les MTK, invest waktu lebih banyak buat belajar dan latihan MTK, bahkan mengurangi porsi belajar mata pelajaran lain untuk mengejar-ngejar materi MTK yang saya kesulitan supaya gak lemah-lemah banget.
Setelah semua yang saya lakukan untuk MTK, pada akhirnya saya merasa bodoh ketika menghadapi soal UN yang begitu jauh prediksinya dari kisi-kisi, soal-soal yang sudah saya pelajari di SMA. Menyajikan masalah, bukan hanya sekadar soal. Soal yang mereka sebut-sebut HOTS pula. Yang membuat masalah lagi adalah, sejak dahulu diajarkan materi tanpa menanyakan masalah. Lalu bagaimana siswa bisa terbiasa dengan sistem HOTS coba kalo begini?
Tahun lalu, yaitu di tahun 2018 setelah UN, saya sudah hampir bulat mengirimkan tulisan protes semacam ini ke Kemendikbud. Entah lewat media sosial atau langsung, saya ingin tanya saja ke sana, bahwa
"Sebenarnya UN untuk apa? Untuk menguji siswa apakah ia lulus kompetensi dasar atau tidak bukan? Lalu kenapa dimunculkan soal soal variasi yang tingkat kesulitannya begitu tinggi? Apakah disengaja agar kami-kami yang otaknya pas pasan ini dapat nilai jelek? Jadi nilai bagus hanya untuk orang orang yang jenius saja ya?"
Saya kira UN adalah soal soal dasar untuk melihat apakah peserta didik sudah lulus kompetensi dasar, tapi kenapa yang dimunculkan di UN adalah soal-soal tingkat tinggi? Apakah dipikir kapasitas otak kami semuanya sama, setinggi itu? Tidak, saya belajar keras sampai stress saja baru belajar yang dasar. Tapi apakah saya akan diberi nilai yang baik dari kerja keras saya? Tentu tidak. Karena yang dilihat hanya nilai, nilai, dan nilai. begitulah sistem pendidikan di negeri saya ini. Saya hanya siswa yang bodoh, terbodohi nilai. Rip mencerdaskan kehidupan bangsa.
Makanya gak heran ketika banyak ditemui kecurangan dalam ujian. Materi terlalu banyak. Semuanya dituntut agar perfeksionis, menghafal rumus ruwet yang sebenarnya tidak begitu relevan dalam kehidupan nyata. Siswa sudah gak tau mau gimana lagi kalo gak nyontek? Nanti nilainya jelek. Jadi apa boleh buat, nyontek jadi pilihan terbaik.
Mental kita ya jadi kaya gini. Mental bobrok ternyata terbentuk sejak sekolah. Akhirnya banyak koruptor dan kecurangan di negeri ini. Percayakah? Bahwa itu terjadi dan gak cuma isapan jempol. Itu yang dihadapi kami para pelajar bahkan di sekolah favorit sekalipun. Ini hal yang klise bagi anak sekolah, tetapi luput dalam pikiran bahwa ini mengakibatkan masalah besar di masa mendatang. (Malah kalau di sekolah favorit nilai menjadi beban yang lebih berat daripada yang tidak favorit karena ekspektasi berbagai pihak yang juga selangit.)
Indonesia masih negara berkembang, tapi sistem pendidikan idealis bukan main begini. Memang orang-orangnya mampu? Saya pribadi sih tidak mampu. Contohnya, 40 soal matematika yang katanya "dasar" harus dikerjakan dalam waktu 2 jam. Maka alokasi waktu yang dibutuhkan untuk satu soal adalah 3 menit. Yang saya heran apa? Jika saya pakai cara ideal sesuai dengan pembelajaran yang baik dan benar dibutuhkan waktu sekitar 5 menit untuk mengerjakan sebuah soal basic. Belum lagi waktu ekstra untuk meneliti dan mengecek jawaban. Hahahah makanya di bimbel banyak diajarin cara cepat yang bisa di selesaikan dalam waktu 2 menit saja. Nah keliatan kan, suatu sistem yang berorientasi pada nilai dan bukannya ilmu yang bermanfaat? Sebenernya okelah kalo soal-soalnya benar benar dasar. Lah kenapa saya menemukan banyak soal variasi yang tidak pernah muncul di soal latihan yang selama ini pernah dikerjakan? Tujuannya apa? Menaikkan standar? Apakah benar efektif jika standar dinaikkan ketika siswa belum siap, yang ada hanyalah rentetan nilai yang jauh dari standar kompetensi yang diharapkan.
Jadi bukan, bukan hanya semata-mata soal UN Matematika yang saya permasalahkan. Ia representasi isu yang jauh lebih besar dari itu; mental.
Tentang mental yang belum siap tapi digembleng dengan cara yang salah. Dibandingkan berorientasi pada nilai, mengapa tidak terlebih dahulu dimulai dengan sistem yang berorientasi pada moral? Saya tak berharap banyak untuk besok. Tidak perlu ganti sistem, tapi sudah saatnya kita mengganti mental!
Opini saya yang tahun lalu merasakan hal ini sebagai pelajar SMA.
Perspektif yang menarik
BalasHapus