Harapan untuk Full Day School
(Ini adalah sebuah pandangan yang saya tulis berdasarkan pengamatan saya, seorang siswa SMA. Diawali dengan mengerjakan tugas membuat tajuk rencana pelajaran Bahasa Indonesia, ternyata membuat saya terbawa emosi yang meluap-luap. Menjadikan tulisan ini sekaligus menjadi sarana curhat saya dalam mengkritik sistem pendidikan yang sempat menggangu saya. Tetapi ini hanyalah pendapat semata. Bagaimanapun, saya tetap harus mendukung sistem di langit yang saya junjung.)
Polemik Full Day School akhir-akhir ini menjadi topik yang hangat
dibicarakan publik. Salah satu program Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy ini banyak menimbulkan
kontroversi dalam pelaksanaannya. Menurutnya, Peraturan Presiden (Perpres) mengenai pendidikan karakter, tidak akan menghapus kebijakan sekolah delapan jam sehari (Tirto.co.id). Maka seperti yang dituturkan oleh Mendikbud, yang ditambah bukan jam belajar, melainkan jam sekolah saja. Waktu tambahan itu akan diisi pembinaan rohani, pendidikan karakter, bermain. Sehingga siswa santai-santai saja, tidak perlu serius. Yang terpenting menggembirakan. (Detik.com)
kontroversi dalam pelaksanaannya. Menurutnya, Peraturan Presiden (Perpres) mengenai pendidikan karakter, tidak akan menghapus kebijakan sekolah delapan jam sehari (Tirto.co.id). Maka seperti yang dituturkan oleh Mendikbud, yang ditambah bukan jam belajar, melainkan jam sekolah saja. Waktu tambahan itu akan diisi pembinaan rohani, pendidikan karakter, bermain. Sehingga siswa santai-santai saja, tidak perlu serius. Yang terpenting menggembirakan. (Detik.com)
Siswa lelah karena terlalu lama berada di sekolah, di akhir
hari sudah capek sehingga tidak bisa efektif belajar sendiri di rumah. Karena
pada kenyataannya walaupun jam pelajaran tidak ditambah dan tidak pula
dikurangi , pelajaran yang terlalu banyak tidak dapat disusul siswa dengan
baik. Ini berpengaruh terhadap nilai akademik siswa. Walaupun sekarang terdapat
nilai sikap yang dapat ‘membantu’ nilai akademik, tetapi pada praktiknya tetap
saja nilai akademik yang paling dipertimbangkan. Apalagi untuk siswa akhir
tahun (kelas 6 SD, 9 SMP, 12 SMA) yang akan
menghadapi Ujian Akhir Nasional (UAN). Nilai UAN ini kerap dijadikan penentu
kelulusan, bahkan untuk beberapa daerah sebagai pertimbangan untuk masuk ke
jenjang yang lebih tinggi. Nilai akademik berpengaruh penting dalam menentukan
masa depan siswa. Jika siswa akhir tahun ini melaksanakan program Full Day
School yang mengedepankan aktivitas di luar pelajaran, jelas akan menganggu
proses belajar.
Menurut Muhadjir Effendy, program Full Day School dipandang
efektif untuk membangun karakter siswa berkepribadian yang baik, mampu berkompetisi,
dan tidak cengeng. Tetapi dengan menerapkan penambahan jam apakah lantas dapat
berubah? Bagaimana dengan anak-anak di negara maju, Jepang misalnya, yang sistem
pendidikannya salah satu yang terbaik di dunia? Walaupun jam belajar di Jepang lebih
sedikit daripada Indonesia, orang-orang Jepang memiliki etos kerja yang tinggi
dan menghargai waktu, membuktikan generasinya berkepribadian tahan banting dan
berkualitas. Ini berarti kepribadian masyarakat di suatu negara tidak
sepenuhnya ditentukan oleh sistem pendidikan negara itu.
Contoh negara maju lainnya adalah Amerika Serikat. Negara
adidaya ini mempunyai sistem pendidikan anak sekolahnya tidak seberat
Indonesia. Cara belajar di Amerika Serikat berlainan dengan cara belajar di
Indonesia. Indonesia memberlakukan pelajaran wajib yang berjumlah banyak
sekali, bahkan untuk siswa di SMA Negeri terdapat 16 pelajaran berbeda yang
harus dipelajari suka atau tidak suka. Sedangkan Amerika Serikat memperbolehkan
siswa di SMA untuk memilih sendiri mata pelajaran yang ingin dipelajari, sesuai
dengan minat dan bakat siswa itu. Tetapi apakah sistem pendidikan Indonesia
menjadi yang terbaik? Tidak juga. Malah lebih rendah daripada Amerika Serikat.
Mengapa? Karena di dalam masyarakat terdapat berbagai macam individu dengan kemampuan
yang berbeda-beda yang karenanya tidak dapat dipaksakan untuk mempelajari hal
yang melebihi kapasitasnya. Seperti misalnya seseorang yang memang ber-IQ
rendah sulit untuk memahami logika matematika. Kita tidak dapat menyalahkan
orang-orang seperti itu. Tapi ternyata, orang itu luar biasa berbakat di bidang
seni rupa. Orang tersebut walaupun sulit
berprestasi dalam mata pelajaran yang menuntut logika matematika, bisa mencapai
prestasi tinggi dalam bidang seni rupa.
Jika ikan disuruh untuk memanjat pohon, bagaimana ikan itu
dapat berkembang? Hanya dituntut untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin
dilakukan karena keterbatasannya. Tetapi
lain halnya jika ia disuruh untuk menggeluti sesuatu yang benar-benar
bidangnya. Ia bisa maju, bahkan berpotensi tinggi untuk sukses dalam bidangnya
itu.
Jika setiap individu di suatu masyarakat dapat memberikan
kemampuan maksimal di bidangnya masing-masing maka tidak akan sulit bagi
Indonesia untuk menjadi negara maju. Akan tercipta masyarakat yang saling
melengkapi kekurangan karena adanya spesialisasi kerja. Hasil tentunya akan
memuaskan, karena setiap hal dilakukan oleh orang-orang yang ahli di bidang
itu. Indonesia mempunyai banyak potensi
besar yang hanya belum dapat ‘jam terbang’. Sumber daya manusia di negara ini juga
sebenarnya berkualitas. Jika SDM tadi didukung dan diberi sarana yang baik,
akan menjadi jembatan untuk mengangkat kualitas di negara ini pula.
Maka sesungguhnya, Full Day School atau tidak tetap saja
tidak bisa menjamin menurun atau meningkatnya kualitas pendidikan di negara
ini. Sistem terdahulu telah terlanjur menggunakan nilai akademik sebagai
orientasi dan pegangan, meninggalkan pentingnya nilai sikap bagi siswa.
Sayangnya, nilai akademik ini sering disangkutkan dengan intensitas jam belajar
atau KBM di sekolah yang berstigma bahwa semakin banyak jam belajar akan
semakin baik. Setelah di lakukan bertahun-tahun, hal ini tidak mempan dan tak
juga berandil banyak bagi kemajuan sistem pendidikan di Indonesia.
Memang dalam pelaksanaan Full Day School, sekolah dalam
seminggu hanya 5 hari sehingga pada hari Sabtu dan Minggu siswa dapat
menghabiskan waktu lebih banyak dengan keluarga di rumah. Tetapi jam belajar
dalam seminggu tetap tidak berubah, yaitu 40 jam seminggu. Bukankah tidak
terdapat perubahan yang berarti untuk siswa, apalagi jika perubahan sistem
dilakukan hanya demi ‘merevolusi mental’?
Rasanya kurang bernilai untuk suatu perubahan yang besar seperti sistem
pendidikan.
Maka dari itu, jelas Full Day School disanksikan dapat
memperbaiki kualitas siswa karena pelaksanaannya hanya menambah-nambahkan sistem
lama. Sistem lama itu sendiri bahkan tidak berpengaruh besar karena terlalu berat
dan terlalu berorientasi pada nilai akademik. Selain itu karena adanya wacana sistem baru
ini otomatis pemerintah harus kembali merombak apa yang sudah dibangun setelah
bertahun-tahun. Harus menyediakan sarana prasarana, menyiapkan pengajar,
mengubah sistem padahal masalah lain yang lebih esensial belum terselesaikan.
Karena itu, jika memang ingin merevolusi, besar harapan
masyarakat agar pemerintah mengeluarkan keputusan terbaik dengan
mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan SDM serta sarana prasarana yang ada. Jika
ingin ‘menambah’ suatu hal pun harus dilihat dari mampu atau tidaknya
masyarakat itu menerima perubahan secara drastis.
SUMBER:
https://tirto.id/mendikbud-jelaskan-manfaat-full-day-school-kepada-mui-cvehphoto credits from:
www.pexels.com
you such a good writer.
BalasHapusI'm smiling while reading this :)
What a nostalgic music, reminds me of our holiday.